Di dalam Islam, Masjid Nabawi berada di urutan kedua dalam keutamaan dan status dalam pandangan Allah. Hal yang sama diberikan pahala bagi peziarah dan siapapun yang berkunjung ke
Nabi (s) bersabda,
“Janganlah kalian bersusah payah melakukan perjalanan jauh, kecuali menuju ke salah satu dari ketiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Al-Aqsha.” (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, al-Nasai, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, al-Darimi).
Salat di Masjid Nabawi merupakan suatu keutamaan dan akan mendapatkan pahala yang besar, sebagaimana Nabi (s) bersabda,
“Salat di masjidku ini 1.000 kali lebih baik daripada salat di masjid lain kecuali di Masjidil Haram (di Mekkah).” (al-Bazzar (sahih))
Nabi (s) mengatakan,
“Di antara mimbarku dan makamku ada sebuah taman kecil dari taman-taman surga.” (Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibn Umar (r), Nabi (s) pernah mengatakan,
“Siapa pun yang mendatangiku sebagai seorang tamu, tidak ada apapun di dalam hatinya kecuali niat untuk mengunjungiku, maka aku berkewajiban menjadi penolongnya saat Kiamat kelak.”
(Tabarani dalam al-Awsat dan al-Kabir dengan sebuah rantai transmisi berisi Maslama ibn Salim, dan oleh al-Daraqutni dalam Amali dan oleh Ibn al-Sakan dalam Sunan al-Sihah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Shirbini dalam Mughni al-Muhtaj (1:512)).
Menurut Anas (r), Nabi (s) pernah bersabda,
“Orang yang mengunjungiku di Madinah berarti termasuk dalam kunjungannya kepadaku (muhtasiban), aku akan menjadi saksinya dan perantaranya saat Kiamat nanti.” (Disebutkan oleh Ibn al-Jawzi dalam Muthir al-Gharam al-Sakin Ila Ashraf al-Amakin)
Tertulis dalam naskah besar di Rawdhah, sebuah hadis yang terkenal,
“Siapapun yang mengunjungi makamku, syafaatku adalah wajib baginya.”
(Dalam bahasa Arab: man zaara qabrii wajabat lahu syafaatii. Diriwayatkan dari Ibn `Umar oleh Al-Daraqutni dalam Sunan-nya (2:278#194); Abu Dawud al-Tayalisi dalam Musnad-nya (2:12); al-Dulabi dalam al-Dhayl ala al-Tarikh (2:170); Ibn Abi al-Dunya dalam Kitab al-Qubur; al-Bayhaqi dalam Shuab al-Iman (3:490); al-Hakim al-Tirmidzi dalam Nawadir al-Usul (hal.148); al-Haythami (4:2); al-Subki dalam Shifa al-Siqam (hal.12-14); Abu al-Shaykh, Ibn Adi dalam al-Kamil (6:235; 6:351); al-Uqayli dalam al-Duafa (4:170) dan Ibn Hajar yang menunjukkan bahwa tingkatannya hasan dalam Talkhis al-Habir (2:266) sebagaimana ditekankan dalam hadis lain yang dia dan Haythami sebutkan.)
Sabda Nabi (s),
“Siapapun yang meminta barakah-barakahku di makamku, aku mendengarnya dan siapa pun yang memintanya dari jauh, aku diberitahu akan hal itu.”
(Abu al-Shaykh menyebutkan dalam Kitab al-Salat ala al-Nabi (Jala al-afham, hal 22) dan Ibn Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari (6:379) bahwa, “Abu al-Shaykh menyebutkannya dengan sebuah transmisi yang baik (sanad jayyid).” Bayhaqi menyebutkannya dalam Hayat al-anbiya dan Shuab al-Iman (2:218#1583) dengan ublightuhu di bagian akhirnya.).
Abu Hurayrah (r) mengatakan, “Aku mendengar bahwa Nabi (s) mengatakan,
“Isa (a) akan turun sebagai seorang juru keadilan, menghakimi, sebagai Imam yang benar dan ia akan melakukan ziarah haji atau umrah atau dengan niat melakukan keduanya dan ia akan mendatangi makamku, mengucapkan salam padaku dan aku akan menjawabnya.” (al-Hakim meriwayatkannya dan menilainya sahih (595/2) dan adz-Dzahabi menyetujuinya.)
Jadi amat penting untuk berdiri di depan pintu makam Nabi (s) dengan sangat hormat, merasakan kebesaran Khatamul Anbiya (s), memohon kepada Allah dengan kata-kata apapun yang terinspirasi ke dalam hati, ingatlah ayat ini:
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah (swt). Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah (swt), dan Rasulullah (s) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah (swt) Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. [4:64]
Seseorang harus mengingat hadis dari Abu Hurayrah (r), di mana Nabi (s) bersabda,
Tidak seorang pun memberi salam padaku kecuali Tuhan mengembalikan rohku sehingga aku dapat menjawab salamnya.
(Abu Hurayrah (r) dalam Abu Dawud (Manasik #2039) dengan rantai transmisi lisan: Ibn Asakir, Mukhtasar Tarikh Dimashq 2:407; Ahmad, Musnad 2:527; Abu Nuaym, Akhbar Asbahan 2:353; Ibn al-Najjar, Akhbar al-Madina hal.145; Bayhaqi, Shuab al-Iman #4161; Haythami, Majma al-Zawaid 10:162; Ibn Katsir, Tafsir 6:464; al-Mundziri, al-Targhib wa al-Tarhib 2:499, Talkhis al-Habir 2:267.).
Abdullah ibn Mas’ud (r) Mengatakan bahwa Nabi (s) bersabda, ”Allah mempunyai malaikat-malaikat yang merambah bumi membawakan salam-salam dari umatku.”
Ulama istimewa bernama Imam as-Suyuti (r) mengatakan bahwa yang dimaksud di sini dengan mengembalikan rohku adalah secara permanen bukan sementara waktu. (dalam Anba al-Adhkiya bi hayat al-anbiya). Dengan kata lain, Allah tidaklah mengembalikan roh Nabi (s), mengambilnya lagi, mengembalikan dan mengambilnya lagi, namun Dia mengembalikannya secara permanen. Nabi (s) hidup secara permanen tanpa gangguan atau hilang. Setiap saat ada yang memberi salam pada Nabi (s), jadi tidak ada waktu di mana roh beliau tidak hadir.